Papua gudangnya pemain sepak bola. Sejak era 1970-an
sampai kini pun kerap berganti ketenaran aksi pemain Papua yang mewarnai
panggung sepak bola nasional. Tatkala aksi anak Papua menggelitik hati
penggila bola Tanah Air, datanglah pujian dan sambutan tanpa batas.
Namun, siapa sangka di balik kecemerlangan pemain Papua, pembinaan dasar
atlet muda di Papua berjalan seadanya.
Mereka bisa tampil
mengesankan bukan dari proses pembinaan yang mapan. Semua ini semata
lebih karena semangat dan kemampuan bakat alam yang mereka miliki.
Potret
kelam pembinaan atlet muda sepak bola Papua setidaknya terekam dari
kondisi Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Papua di
Jayapura. Bertahun-tahun pembinaan atlet berlangsung dengan fasilitas
seadanya. Program latihan digelar dengan lapangan sepak bola sewaan yang
belum memenuhi standar lapangan internasional. Kondisi lapangan
bergelombang karena kubangan. Rumput lapangan tumbuh tak merata dan
batas bidang lapangan yang tak jelas karena tanpa batas lapangan.
Kondisi
ini tentu sangat ironis karena keberadaan PPLP dalam sistem pembinaan
prestasi berperan sangat strategis dan mendasar sebagai wadah bagi
pembibitan dan pembinaan atlet berbakat. Hal ini mengingat jumlah anak
usia sekolah yang besar dan menjadi usia potensial dalam pembinaan
prestasi olahraga.
Lewat PPLP, atlet tidak cuma dibina dalam
urusan prestasi olahraganya, tetapi juga pendidikannya. Dengan kombinasi
pembinaan bakat dan pendidikan, diharapkan terbentuk akhlak dan moral,
seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, disiplin, kritis serta
kreatif pada atlet.
Sudah terbukti, dari PPLP ini, dari generasi
ke generasi lahir pemain berbakat yang ikut membela tim nasional. Sebut
saja Adolof Kabo, Yonas Sawor, dan Metu Duaramuri. Mereka atlet
bertalenta yang merupakan generasi PPLP Papua pertama yang didirikan
pada 1985.
Setelah generasi ini, muncul nama-nama pemain lainnya,
seperti Ishak Fatari, Chris Yarangga, Ritam Madubun, dan Aples Tecuari.
Pada generasi sekarang, muncul Titus Bonai dan Okto Maniani yang
memukau bersama timnas U-23. Yang paling fenomenal tentu sosok Boaz
Solossa, pemain 25 tahun yang kini menjadi tulang punggung klub
Persipura.
Bukan cuma soal kondisi lapangan yang memprihatinkan,
atlet PPLP sepak bola Papua juga dipaksa mengalah untuk asrama
penginapan. Gedung yang seharusnya menjadi asrama untuk atlet PPLP
justru dipakai untuk kepentingan di luar kegiatan pembinaan olahraga.
Bangunan yang semestinya bisa menampung 22 atlet kini dihuni Majelis
Rakyat Papua.
Terpisahnya asrama atlet dengan tempat latihan
makin membebani atlet PPLP. Setiap selesai latihan pada pagi hari,
mereka sudah harus bergegas berangkat ke sekolah yang berlokasi jauh
terpisah. Demikian pula saat selesai sekolah, mereka harus kembali ke
asrama sebelum menuju lapangan.
Secara konsep, kondisi ini sudah
tidak ideal. Karena yang namanya pemusatan latihan, semestinya semuanya
sudah terintegritas dalam satu kawasan antara tempat latihan, sekolah,
dan asrama. Terlebih lagi, jika pendidikan para atlet disamakan dengan
sekolah umum.
”Idealnya, asrama, tempat latihan, dan sekolah
dalam satu kawasan. Selain memudahkan proses pendidikan dan latihan,
juga untuk pengawasan. Untungnya, para atlet kami bersemangat tinggi.
Meski dalam keterbatasan, mereka tetap menjalani pendidikan dan berlatih
dengan semangat,” kata Ketua Bidang Olahraga Dinas Pendidikan Pemuda
dan Olahraga Papua Noach Baransano.
Program latihan
Minimnya
alat-alat latihan juga membuat tim pelatih menerapkan program latihan
yang sederhana. Penekanan latihan lebih kepada fisik dan pematangan
teknik dasar. Tak terlihat struktur pola latihan yang berbasis ilmu
pengetahuan dan teknologi. Jangankan alat-alat angkat beban, seragam
latihan pun mereka tak punya.
”Untungnya mereka punya bakat alami
yang luar biasa. Mereka juga punya semangat dan keinginan kuat untuk
maju. Mereka selalu termotivasi dengan keberhasilan senior mereka yang
bermain di klub peserta Liga Indonesia ataupun timnas,” kata salah satu
pelatih PPLP Papua, Yan Rontini.
Semangat dan antusiasme
anak-anak Papua yang masih berusia belasan tahun itu terlihat dalam sesi
latihan di lapangan bola SMA YPKK Taruna Dharma, Jumat (27/4). Mereka
mengikuti semua instruksi pelatih yang menempa kekuatan fisik mereka.
”Ayo,
dua pohon tiga kelinci,” kata sang pelatih. Para pemain yang sedang
berlatih mengumpan bola segera berlari berhamburan mencari teman untuk
membuat formasi yang diinginkan pelatih. Mereka membuat grup yang
terdiri dari dua pemain yang berdiri sebagai pohon, sedangkan tiga
pemain lainnya jongkok.
Bagi pemain yang tidak bergerak cepat,
tentu tidak akan mendapat teman untuk membuat formasi yang diinginkan
pelatih. Sanksinya mereka harus push up sebanyak 10 kali. ”Latihan ini
memang terlihat sederhana. Namun, sebenarnya latihan ini untuk mengasah
kecepatan respons mereka, keberanian mengambil keputusan, dan
bertanggung jawab jika mereka gagal dalam permainan ini,” kata Yan.
Latihan-latihan
seperti ini, kata Yan, harus dilakukan untuk menyiasati keterbatasan
sarana dan prasarana latihan. ”Kami, tim pelatih, harus kreatif. Kami
tidak bisa membiarkan semangat dan antusiasme pemain dalam latihan,”
ujarnya menambahkan.
Kerja keras mereka akhirnya terbayar.
Sejumlah pemain dipanggil untuk membela tim PON Papua. Bahkan, sejumlah
pemain juga direkrut memperkuat timnas PSSI U-16 yang berlaga di Piala
AFF beberapa waktu lalu.
Martinus Asso mengaku sangat beruntung
bisa bergabung di PPLP. Pemain kelahiran 9 Juni 1996 ini merasa
mengalami banyak kemajuan sejak bergabung di PPLP dua tahun lalu. Postur
tubuh siswa kelas III SMP ini tidak terlalu tinggi, tetapi kemampuan
olah bola dan kecepatan larinya cukup mengagumkan. Tak heran jika
Martinus masuk timnas U-16.
Melihat potensi dan sumber daya atlet
Papua yang sangat besar di usia sekolah, sepertinya memberi harapan
besar. Seandainya bakat alami mereka bisa dibina dengan lebih baik
dengan dukungan sarana dan prasarana serta iptek, tak mustahil prestasi
sepak bola nasional bisa lebih melambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar